Ada orang yang kalo badmood a.k.a stress malah suka makan. Tapi ada juga yang malah ga bisa makan.
Saya
tipe yang kedua. Ga bisa makan kalo lagi badmood. Kecuali ama makanan satu ini
: rujak 😋. Dia selalu punya cara menawan
rasa, lalu menautkannya pada hati yang luka. #Eh
Tapi
gara2 rujak juga bisa jadi malah tambah patah hati. Ternyata tak cuma hati yg
sensitif tapi perut juga bisa sensitif. Saya suka mules kalo makan pedas
berlebih. Termasuk makan rujak. Jadi, kalo beli rujak biasanya ga pake cabe
atau cabe 1-2 biji. Pedas seperti itu bisalah ditolerir oleh lidah 😁
Tapi
terkadang meskipun kita pesan rujak tidak pedas sekalipun, rujak yang datang ke
hadapan kita bisa jadi pedas. Apalagi kalo menu rujak mereka pake level2-an.
Faktor perbedaan jenis cabe juga bisa menjadi biangnya. Misal warung A pake
cabe setan dengan rating scoville (semacang rangking kepedasan) sampe 1jt
dibanding warung B yang pake cabe rawit yang hanya punya rating scoville 30K-50K.
Meskipun sama2 level 1, beli rujak di warung A akan terasa lebih pedas daripada
di warung B🤣🤣
Ini
pernah terjadi di suatu malam yang kelam. Tengah malam yang dingin ketika saya
galau karena anak tak tidur di rumah. Perut keroncongan tak bisa dibendung,
padahal makan nasi tak bisa dilakukan, akhirnya pesan rujak pake delivery order
alias go-food.
Udah
deal dengan warung dan pak go-food nya bahwa rujak yg saya mau level 1, kalo
perlu ga pake cabe. Tapi air mata sampai meleleh begitu rujak itu dimakan.
Lidah terbakar, perut sensitif pun terpapar 🤭🤭
Ah,
kenapa ini bisa terjadi??
Setelah
merenungkan dan menganalisa antara masa lalu, masa kini dan kemungkinan masa
depan. Saya jadi ingat perkataan seseorang yang saya tidak ingat siapa dia.
Bahwa tukang rujak hanya mencuci cobek dan ulekannya sekali sehari. Yakni,
setelah tugas negara selesai terlaksana.
Sepanjang
hari yang sibuk, tukang rujak melayani pelanggan yang silih datang berganti
tanpa lelah dan menyerah. Iya lah, demi sesuap nasi dan sebongkah berlian
#ApaSih 😆
Selama
kurun waktu itu, cobek dan ulekan adalah senjata mutakhir tak terkalahkan. Ia
membantu sang empu melayani pelanggan dengan aneka selera level kepedasannya. Setiap
cabe yang diulek di sana, meskipun sedikit akan meninggalkan “bekas” pedas. Seperti
dirimu yang selalu membekas di hatiku.. #Apalah
Mungkin
karena saya memesan di jam kritis, “bekas-bekas” yang terkumpul pun bisa bikin
meringis. Tentu saja ini bukan sepenuhnya salah tukang rujak, karena sebagai
pengusaha pasti ia memikirkan untung dan rugi baik dari segi cost money maupun
potential cost money-nya dengan jumpalitan.
Alhasil,
wajar saja bila cobek dan ulekan tidak dilakukan “pencucian” per ganti
pelanggan. Selain karena kebersihan bisa dijaga (karena yang menyentuh cobek
hanya bahan rujak, sendok dan palet), pun mencuci terlalu sering bisa masuk
kategori kegiatan kurang efisien. Hehe
Bagaimanapun
ini menandakan bahwa tak ada yang sempurna di dunia ini. Tersebab keterbatasan.
Bisa saja tukang rujak menyediakan 2 buah perangkat cobek dan ulekan –selain solusi
mencuci tadi-. Untuk ulekan pedas dan non-pedas. Tapi itu tergantung kemampuan
dan kemauan perusahaan (warung).
Manusia pun dikelilingi oleh keterbatasan. Keterbatasan
ilmu, cinta hingga umur. Oleh karena itu ia memiliki bekas-bekas (dosa), yang
bila terkumpul terlalu banyak akan bikin meringis di akhirat. Bukan hanya air
mata saja yang meleleh, kelak tubuh pun akan melepuh juga.
Tidak
seperti cobek rujak, manusia (sangat) butuh dicuci dan dijaga. Dengan begitu
bekas-bekas itu tak membayang dan tak membuat meringis. Dengan memperkuat iman
dan menyiramnya dengan ilmu.
Tetapi
menyucikan dan menjaga diri dari kemaksiatan di zaman sekarang butuh usaha yang
jumpalitan. Karena kita dikelilingi oleh budaya-budaya sekuler yang bikin blenger.
Sistem yang terlahir (kapitalisme dan demokrasi) dari budaya ini pun bikin
manusia teler.
Bekas-bekas
itu harus dibersihkan. Sistem rusak harus diperbarui, pada yang menjamin terjaganya
fitrah manusia, yang berasal dari-Nya : sistem kehidupan Islam.