Walau kesadaran umat akan hijrah meningkat, dakwah
bertebaran bak hujan yang jatuh dimana-mana, komunitas hijrah berkembang pesat
dan ustad beken makin kenceng baik suara dan popularitasnya. Tetap saja tidak
semua manusia menerima ini : ajakan hijrah untuk kembali pada yang fitrah.
Apalagi kalau bukan menyeru pada Islam.
Semua orang ingin berubah menjadi lebih baik. Tidak
dipungkiri itu. baik rizkinya, baik keluarganya, temannya, jabatannya dll. Tapi
tak semua orang beruntung bisa menundukkan akal dan egonya untuk kembali kepada
Sang Maha Pencipta.
Hijrah memang bukan hanya soal urusan tampilan saja,
menuntut ilmu adalah salah satu poin penting dalam bagian ini. Tanpanya maka
tersesat adalah suatu kepastian. Hijrah
pun bisa jadi sia-sia. Hijrah itu ga cukup hanya semangat aja sist.. Ah, tragis
benar bila itu terjadi!
Saya mencoba menyelami samudera, eh bukan.. Menyelami
berbagai alasan yang sering kali diutarakan beberapa orang yang tidak
menyegerakan hijrah, padahal banyak orang yang datang untuk menawarkan kebaikan
ini. Kebaikan yang belum tentu semua orang berkesempatan melakukannya. Bisa jadi
karena belum bertemu dengan teman yang akan menguatkannya dalam hijrah atau
bisa jadi telah dipanggil Sang Maha Kuasa bahkan sebelum memiliki niat untuk
hijrah. Amboy, tragis triple!!
Ada yang berasalan tentang usia, “Ah kamu masih muda,
saya sudah hampir 40 tahun. Ga kuat kalo harus kesana-kemari untuk kajian. Di
internet juga banyak ustad pinter yang ceramah bla bla bla..”
Padahal usia 40 tahun itu masih usia produktif, bahkan
Rasulullah SAW diangkat menjadi nabi ketika berada pada usia tersebut. Coba
bayangkan, bila nabi menolak ketika disuruh menyampaikan risalah tuhan hanya
karena merasa telah tua. Hari ini, kita mungkin masih berada di zaman
jahiliyah. Meskipun zaman sekarang juga masih jahiliyah (modern). Oooppsss...
Nyatanya juga, di antara kami, ada juga nenek-nenek yang
tetap mengkaji, bahkan rajin datang ke kajian, kritis pula. Kita yang muda
malah saling mengernyitkan alis pada diri sendiri di pojokan. Hihi
Ada yang beralasan ini semua tentang masalah teknis, tak ada kendaraan yang bisa support datang ke majelis ilmu atau tak ada yang bisa jadi ojek. Tapi
ketika ditawari kajian kelompok di rumah atau diberi bantuan ‘jemputan’ oleh
teman tetap saja tidak mengubahnya ingin mengkaji sebagai bagian dari proses
hijrah yang dia gembar-gemborkan.
Katanya hijrah extreme, tapi mengkaji ilmu masih ga
extreme. Ga nyambung jek.. #Peace
Alasan ekonomi juga sering kali menjadi alasan ‘batal’
berhijrah, yang singgle bilang harus berjuang untuk hidupnya, yang sudah
berkeluarga bilang harus ikut menjadi pejuang keluarga, karena kejamnya dunia
terkadang hanya bisa dihadapi dengan segepok uang.
Padahal tidak sedikit singgle fighter di keluarganya juga
menjadi fighter yang disegani di dunia dakwah. Tidak sedikit orang yang ‘tidak
beruntung’ secara finansial bersinar ketika mereka hijrah. Lagipula, Allah
sebenarnya ga pernah ngasih harga tiket masuk bagi hambanya yang ingin
bertaubat bukan??
Jadi, sebenarnya tidak mengkaji itu bukan karena merasa sudah
tua, fisik tidak kuat, ekonomi lemah, miskin waktu dsb. Tapi bisa jadi hanya
mengikuti trend atau bukan karena Allah sebagai niatnya.
Kalo kata salah satu coach saya, “Ketika di pikiran seorang manusia hanya ada palu, maka dia akan
menyelesaikan permasalahan apapun dengan palu itu. Padahal sejatinya, perkakas
selain palu juga banyak. Mau makan ga pake sendok, tapi pake palu. Sepeda motor
rusak, bukannya diperbaiki tapi pake palu dst.”
Ketika manusia fokus dengan sesuatu, terutama
kelemahannya, maka dia akan sulit melihat kesempatan-kesempatan lebih baik lain
yang banyak disediakan sebagai pilihan dari Allah SWT.
Mudah-mudahan kita ga begitu yaa.. Aamiin..
Jember, 23 Oktober 2018
Helmiyatul Hidayati
#GerakanMedsosuntukDakwah
#Dakwahtakmeluluceramah
#Statusmupahalamu
#GeMesDa