**
Disclaimer : Tulisan ini dibuat berdasarkan sudut pandang pribadi, sebagai seorang muslimah yang selalu berusaha membela Islam meski tak sempurna dan masih fakir ilmu. Jika dirasa bermanfaat Alhamdulillah, jika dirasa belum atau salah, mohon dimaafkan.
**
Joseon Attorney, sebuah drama korea yang belum lama ini menamatkan penayangannya dengan 16 episode menarik perhatian banyak pecinta drama Korea. Dengan genre hukum, namun setting waktu jaman jadul alias ketika masih masa Joseon gitu. Pemeran protagonis adalah Woo Do Hwa yang kerap dipanggil bang Wawan oleh K-Popers Indonesia.
Biasanya drama dengan genre hukum
menggunakan setting lokasi masa kini. Namun inilah yang menjadi keunikan dari
drama Joseon Attorney. Seperti judulnya, ini tentang kiprah seorang pengacara
di kala itu.
Tertarik nonton ini karena teasernya
lucu, jadi berasa juga komedinya. Lumayan bisa mengundang tawa. Ternyata kalo
diperhatikan vonis untuk kasus-kasus yang dipecahkan oleh pemeran utama mirip
banget dengan pengaturan uqubat (peradilan) di dalam Islam. Sampe nge-batin “Eh
ini penulisnya habis baca Shirah Nabawiyah kali ya?” Hehe
Padahal seperti kita tahu, ajaran-ajaran
Islam banyak dihujat dan dikritik oleh Barat, termasuk sistem Uqubat ini.
Seandainya peradilan yang dikisahkan dalam drama Joseon ini benar (ada sejarah
tertulis), pernah terbayang ga sih betapa besarnya pengaruh kejayaan Islam pada
masa itu?? Karena Joseon berdiri dari tahun 1932-1897, dimana Khilafah masih
ada waktu itu. Inilah yang disebut efek negara adidaya.
Suasana Sidang Perceraian Ala Joseon
EPISODE 3 – 4 : Perceraian Suami Istri Bangsawan
Seorang istri yang diselingkuhi, mengalami
KDRT bahkan harta warisannya dirampok oleh sang suami. Ia hampir bunuh diri karena
tidak tahan hidup bersama suaminya, sementara perceraian seakan-akan mimpi
baginya. Hal ini dikarenakan hukum Joseon terlalu memihak para suami.
Disebutkan bahwa suami boleh meninggalkan istrinya namun istrinya tidak boleh
meninggalkan suaminya. Ada yang namanya ‘istri yang buruk’ namun tidak ada istilah
suami yang buruk. Sehingga bila ada kasus perceraian, maka pihak bersalah akan
berada di pundak istri. Ia akan mendapat stigma negatif dan tetap akan
dikucilkan masyarakat sekalipun ia adalah bangsawan.
SISI LAIN
Islam kurang lebih juga mendapat ‘tuduhan’ yang mirip. Terutama dari kaum feminis dan liberal sekuler. Dalam Islam hak talak (menceraikan istri) mutlak ada di tangan suami, tidak dibatasi oleh situasi dan kondisi apapun. Bahkan seorang suami berhak menjatuhkan talak tanpa sebab. Meski bercanda, kata-kata candaan suami tentang talak akan jatuh hukum talaknya, namun jika diucapkan oleh istri maka tidak berarti apapun.
Namun seorang istri pun berhak
menceraikan dirinya dari suaminya dan mengadakan perpisahan. Islam memperbolehkan
wanita untuk memfasakh (membatalkan atau merusak) pernikahannya dengan suami.
Hal ini disebut Khulu’ dan bisa dilakukan oleh istri bila ia berada dalam
kondisi-kondisi seperti ini :
1. Suami
menyerahkan hak talak kepada istri.
2. Suami
cacat (impoten atau dikebiri, tidak dapat diobati).
3. Suami
menderita penyakit yang tidak memungkinkan dirinya tinggal bersama suaminya.
4. Suami gila.
5. Suami melakukan
sadar lalu hilang tanpa kabar, sementara istri terhalang dari mendapat
nafkahnya.
6. Suami tidak
menafkahi padahal mampu.
7. Suami istri
terlibat pertentangan dan persengketaan.
Tentunya tidak ada pernikahan yang
sempurna. Di zaman sekarang tidak jarang banyak istri mengalami kezaliman dari
lemahnya sang suami. Fakta kondisi-kondisi diatas adalah bukti bahwa Allah SWT
memandang hubungan suami istri sebagai hubungan persahabatan. Oleh karena itu
Allah tidak akan membiarkan seorang istri terpaksa tinggal bersama suaminya
jika dia tidak menemukan kebahagiaan.
Jika terbukti tidak ada peluang untuk
hidup berumah tangga yang baik karena 7 (tujuh) kondisi di atas, maka syara’ memperbolehkan
seorang istri untuk memfasakh ikatan pernikahan.
Hukum Joseon (contoh) itu tak sempurna
karena pada dasarnya itu adalah hukum buatan manusia, namun hukum Allah itu
sempurna. Sesuai dengan fitrah manusia. Berpegang pada hukum buatan manusia,
akan membuat tidak hanya rumah tangga hancur namun keterpurukan mendalam dari
sebuah peradaban manusia.
**
Referensi : Kitab Sistem Pergaulan Dalam Islam Oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani