Fakta Keagungan Pernikahan Yang Terlupakan Oleh Seorang Jurnalis
Oleh : Helmiyatul Hidayati
(Seorang Blogger dan Anggota
Komunitas Menulis Revowriter)
Pada tahun 2014, ada sebuah
drama korea yang sangat bagus dengan judul Pinnochio.
Selain karena para pemainnya adalah aktor papan atas, jalan ceritanya juga
menarik, tentang kehidupan para jurnalis (reporter) pemburu berita.
Hal menarik lagi dari drama
yang skenarionya ditulis oleh Park Hye Ryun ini, setiap episodenya memiliki
judul yang hampir sama dengan dongeng-dongeng terkenal di dunia. Di episode 10
ada scene tentang reporter senior bernama Sung Cha Ok yang memberikan pelajaran
bagaimana agar rating berita menjadi tinggi yaitu dengan ‘memberikan dampak’
pada sebuah fakta berita.
Maksud dari ‘memberi dampak’
pada suatu fakta adalah dengan memberikan bumbu-bumbu tambahan atau
menguranginya dengan memperhatikan bahwa orang lebih responsif pada berita
negatif daripada berita positif.
Namun, kebanyakan bermain
bumbu, membuat seorang jurnalis bisa mengabaikan fakta. Nyatanya karakter Sung
Cha Ok telah mengabaikan suatu fakta, 13 tahun lalu ketika membawakan berita
mengenai suatu kebakaran.
Akibat berita yang dia
bawakan, dimana ia memberitakan bahwa karena
pemimpin regu petugas pemadam kebakaran ‘melarikan diri’, maka 9 orang
rekannya tidak bisa diselamatkan. Sung Cha Ok tidak memeriksa atau menggali
kemungkinan bahwa pemimpin regu itu tidak bersalah. Akhirnya seluruh masyarakat
Korea pun menyalahkan si pemimpin regu, hingga si istri bunuh diri dan kedua
anak mereka terpisah.
Terlepas dari drama ini yang
merupakan cerita fiksi, nyatanya profesi reporter atau jurnalis adalah profesi
yang akan diperhatikan kata-katanya oleh masyarakat. Kebanyakan masyarakat awam
bisa saja menelan mentah-mentah apa yang disampaikan oleh mereka. Karena itu
seorang yang berada di dalam dunia jurnalistik harusnya memperhatikan dampak
dari kata-katanya dan memahami betapa menakutkannya hal tersebut. Jangan sampai
seorang jurnalis menyampaikan berita kebohongan atau separuh informasi yang
bisa menimbulkan interpretasi berbeda, dan yang paling penting jangan sampai ia
gagal paham.
Meskipun sudah agak lama
berlalu, tanyangan ILC yang mengangkat tema “Benarkah MK melegalkan LGBT dan
Zina?” memberi bekas pada setiap orang.
Alaminya, memang setiap orang
akan menolak LGBT dan Zina. Segala norma, adat dan agama akan menganggap ini
penyimpangan dan kejahatan. Maka dari itu pernyataan atau tanggapan dari
tokoh-tokoh yang pro-LGBT pun menjadi sorotan. Selain tentunya karena
pernyataan mereka kerap kali miskin data, fakta, serta sarat dengan asumsi yang
jauh dari kenyataan.
Apalagi ada sosok seorang
jurnalis di sana, dimana profesi ini identik dengan orang yang memiliki wawasan
luas dan sangat memperhatikan fakta, nyatanya gagal paham terhadap sila pertama
Pancasila.
Mengutip pernyataan jurnalis
tersebut “... Jika kita mau mencegah
infeksi menular seksual maka kita harus melakukan sex yang sehat bukan dengan
sex yg legal (menikah). Saya pikir itu adalah 2 hal yang berbeda. Sex di dalam
pernikahan bisa tentu saja menjadi penyebab penyebaran penyakit. Karena perbedaan sex di dalam dan di luar
penikahan hanya status hitam di atas putih, adalah sebuah dokumen kenegaraan
...”
Pernyataan tersebut terlalu
banyak ‘dampak’ karena pernyataan ini keluar dari seorang warga negara
Indonesia, dimana berketuhanan (beragama) adalah kewajiban dan hukum sebagai
wujud representasi sila pertama Pancasila, sekalipun tidak di dasari pada agama
tertentu. Namun pernikahan di dalam setiap agama adalah hal yang agung. Bukan
sekedar untuk melegalkan urusan pelampiasan syahwat.
Dengan logika yang sama, bila
sex antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah pernikahan dan sex bebas di
luar penikahan hanya dibedakan oleh sebuah kertas negara, maka setiap istri dan
ibu di dunia ini adalah pelacur dan pembantu bagi laki-laki.
Nyatanya, memang istri
melayani suami di atas kasur, dengan bayaran nafkah dari suaminya. Istri dan
ibu juga mengurus dapur, merawat rumah, menjaga dan mendidik anak seperti pembantu
dan dibayar nafkah oleh suami. Jika pernikahan hanya sebuah kertas negara, maka
tak jauh bedanya istri dan ibu dengan pelacur dan pembantu.
Dengan logika yang sama pula,
maka setiap anak yang lahir karena pernikahan dan di luar pernikahan juga tak berbeda
jauh. Sama-sama anak haram, karena pernikahan hanya sebatas kertas negara.
Bedanya yang satu punya kertas, yang satunya tidak punya.
Islam, mengenai pernikahan,
memiliki solusi dan pandangan yang berbeda. Pernikahan di dalam Islam bukan
hanya soal pencatatan di dalam dokumen negara, namun sesuatu yang justru akan
menghilangkan, menjauhkan hingga mencegah seseorang dari perzinahan, pelacuran,
lesbi, homo, kumpul kebo dan bentuk hubungan lain yang menjijikkan.
Sebuah hadits riwayat Al
Bukhari berbunyi, Rasulullah SAW bersabda, “Wahai
para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah.
Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan
barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat
menekan syahwatnya (sebagai tameng).”
Jadi, menikah dan tidak
menikah di dalam Islam sangat jelas perbedaannya. Seperti kejelasan perbedaan
antara hitam dan putih. Menikah adalah sunnah rasul yang mulia. Sex di dalam
pernikahan islam bernilai ibadah dan mendapatkan pahala, BUKAN maksiat yang
mendapat dosa.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari
Abu Dzarr Radhiyallahu anhu, bahwa sejumlah Sahabat Nabi SAW berkata kepada
beliau: “Wahai Rasulullah, orang-orang
kaya telah mendapatkan banyak pahala. Mereka melaksanakan shalat sebagaimana
kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami puasa, dan mereka dapat
bershadaqah dengan kelebihan harta mereka.”
Beliau bersabda: “Bukankah
Allah telah menjadikan untuk kalian apa yang dapat kalian shadaqahkan. Setiap
tasbih adalah shadaqah, setiap takbir adalah shadaqah, setiap tahmid adalah
shadaqah, setiap tahlil adalah shadaqah, menyuruh kepada yang ma’ruf adalah
shadaqah, mencegah dari yang munkar adalah shadaqah, dan persetubuhan salah
seorang dari kalian (dengan isterinya) adalah shadaqah.”
Mereka bertanya: “Wahai
Rasulullah, apakah salah seorang dari kami yang melampiaskan syahwatnya akan
mendapatkan pahala?”
Beliau bersabda: “Bagaimana
pendapat kalian seandainya dia melampiaskan syahwatnya kepada hal yang haram,
apakah dia mendapatkan dosa? Maka demikian pula jika ia melampiaskannya kepada
hal yang halal, maka dia mendapatkan pahala.”
Rumah tangga di dalam
Islam memiliki visi misi yang jelas, bukan hanya sekedar urusan pelampiasan
syahwat. Tapi visi dan misi itu harus bisa menjawab tiga pertanyaan mendasar di
dalam hidup : 1) Dari mana kita berasal; 2) Mau melakukan apa saja
selama hidup; dan 3) Kemana kita setelah mati??
Jika pernikahan hanya urusan
untuk melegalkan sex, maka kemungkinan besar ia tidak tahu jawaban dari ketiga
pertanyaan mendasar dalam hidup tersebut. Bagaiman bisa menghargai dan
memandang agung sebuah pernikahan jika tidak tahu dari mana penciptaan itu
berasal, untuk apa menjalani hidup di dunia ini dan kemana tujuan setelah
mati??