Ada yang bilang hijrah itu mudah, yang sulit adalah istiqomah. Seseorang bisa hijrah seperti menekan tombol baik dan buruk di dalam tubuh. Namun berusaha untuk tetap membuat tombol itu menyala (baik) –istiqomah- tidak semudah membalikkan telapak tangan.
.
Terkadang
momen hijrah itu datang di saat manusia berada pada suatu titik (rendah)
tertentu. Wajar sih, karena itu adalah salah satu cara Allah menyanyangi
hamba-Nya, dengan memberi peringatan agar kembali ke tujuan penciptaan.
.
Setelah
memutuskan hijrah, ternyata aral melintang datang menghadang. Tak jarang kita
jumpai satu-persatu pun memutuskan kembali pulang, berbalik ke masa lalu yang
kelam. Bisa jadi, salah satunya adalah orang-orang yang kita kenal. Tuh kan,
istiqomah itu berat, makanya jangan hijrah sendirian! Kamu ga akan kuat! #Eaaa
.
Hijrah
juga bukan hanya soal datang ke kajian sebulan sekali. Tiap hari mantengin
YouTube dengarin ceramah ustad beken. Tampilan berubah jadi trendy Islami.
Semua itu tidak salah, namun itu hanya sebagian kecil dari banyak hal yang
seharusnya dilakukan oleh muslim sejati.
Seseorang
menuntut ilmu agar ia mengetahui sesuatu. Setelah tahu maka tiba masanya untuk
dipraktekkan, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk ditularkan kepada
orang lain.
.
Tak
lama setelah saya mengenal dunia dakwah ada baper dan patah hati baru yang
dirasa. Terjerumus dalam hal baik tak berarti semua jalan menjadi mulus dan
baik. Nyatanya banyak duri siap menancap di kaki, eh hati..
.
Excited
dan keterkejutan menghampiri ketika menyadari bahwa selama ini ilmu agama yang
saya miliki tidak ada seujung kuku jari. Tidak mengherankan orang yang baru
hijrah, biasanya kurang ‘lihai’ bila ingin menyampaikan sebuah kebenaran yang
baru dia tahu. Tidak punya strategi, hingga sampai ke hati tiap orang dengan
rasa perih bertalu-talu.
.
Apa
pasal? Dalam masyarakat kita ada banyak kesalahan-kesalahan yang sudah mendarah
daging sehingga terlalu biasa untuk dipikirkan bahwa hal-hal tersebut ternyata
tidak sesuai dengan hukum Allah. Di sinilah urgent-nya menuntut ilmu agama.
Karena tanpa itu kita bagai orang buta di dalam ruangan gelap dan pekat.
Demi
memahamkan bahwa menutup aurat itu wajib, saya terkadang korban khimar dan
jilbab untuk dibagi-bagi. Tentulah yang masih layak pakai. Tapi karena
prolog-nya langsung nendang bukan dengan mengubah pemikirannya dahulu, tak
jarang apa yang saya beri dioper ke orang lain atau jilbabnya dipotong jadi 2
(dua), dibuat atasan dan bawahan. Hayo loh..
.
Gimana
rasanya? Patah hati iya. Bonus baper pula. Padahal yang kita berikan atau
sampaikan bukan hal yang salah. Salah strategi aja. Sayangnya pula, itu bukan
kali terakhir terjadi. Meskipun lama-lama saya belajar bahwa sia-sia saya
merasa seperti itu, karena Allah melihat proses, bukan hasil. Jadi sebenarnya
tak ada yang sia-sia bila itu untuk dakwah.
.
Tidak
jarang, dalam suatu waktu kita akan melihat teman mengaji kita satu per satu
akan mengundurkan diri dari kancah persilatan. Alasannya bisa macem-macem;
karena guru ngaji yang ga asyik; ngaji terlalu menyita waktu; sibuk bekerja;
bahkan hingga hujan pun akan menjadi alasan. Padahal Ibnu Qayyim Al Jauziyah ra
berkata, “Jika dirimu tidak disibukkan
dengan hal baik, pasti akan disibukkan dalam hal bathil.”
.
Mengkaji
ilmu Islam adalah gerbang untuk hijrah, tanpa melakukan itu mustahil untuk
istiqomah. Bahkan sekalipun telah mengkaji tidak menutup kemungkinan akan
menjadi keder ketika ‘disentil’ oleh Sang Maha Kuasa. Sentilan itu bisa jadi
adalah komentar orang lain atau sohib nongkrong yang tidak ingin dilepas,
hingga merasa tidak lagi memiliki waktu untuk datang ke majelis ilmu.
.
Sejatinya
kita mengkaji Islam itu untuk menyelamatkan diri sendiri, berdakwah pun untuk
menyelamatkan diri sendiri. Supaya Allah melihat proses kita, bagaimana kita
berjuang untuk agama-Nya.
.
Right??
.
.
Jember,
28 Jul 18
Helmiyatul
Hidayati