Ada banyak cerita atau kisah yang kita percayai kenyataannya namun perasaan kita tidak turut terhanyut. Semata karena kita tidak mengalaminya. Misal, cerita tentang mafia. Yes, mafia itu ada, tapi karena tidak terlibat, mengenal dan tidak banyak pengetahuan tentang mafia, maka sikap kita akan biasa saja. Beda rasanya kalau tiba-tiba kita diberi tahu sebuah kenyataan tersembunyi, pasangan kita membongkar identitasnya yang ternyata seorang mafia. Waduhh.. Oke ini analogi saja, jangan dipikirkan apalagi dimasukin kantong. Bukan duit! #Eh
.
Di dalam
hidup saya, poligami memiliki posisi yang sama dengan “mafia” di atas. Saya tahu
poligami itu apa, dan siapa kerabat saya yang berpoligami, juga seburuk apa
rumah tangga tersebut. Intinya, itu bukan rumah tangga yang akan saya pilih.
.
Suatu hari
di siang yang cerah, sekitar 3 (tiga) tahun lalu. Entah bagaimana mulanya, saya
terlibat sebuah pembicaraan serius dengan seorang rekan kerja. Tentang poligami.
Saya ingat saat itu saya menceritakan sekilas tentang betapa buruknya rumah
tangga poligami beberapa orang yang saya kenal.
.
Rekan saya
memberikan jawaban yang tidak di sangka. Kebanyakan para wanita akan
mencak-mencak ngomongin topik satu ini. Tapi dia tenang dan kalem. Hingga usil
saya pun bertanya, “Mbak, kalo suaminya mau poligami emang dibolehin?”
.
She said YES buddy! Oh,
untunglah saya termasuk pandai menyembunyikan ekspresi wajah meskipun rasanya
mata ingin melotot mendengar jawabannya. Akhirnya saya sukses mengernyitkan
sebelah alis saja.
.
“Kenapa?”
tanya saya waktu itu. Dia menjawab dengan baik, karena suami bukanlah milik
istri tapi milik Allah.
.
“Hmm.. Kayanya
saya ga nyampe deh mikir ke situ.” Itu komentar akhir saya. Setelah itu kami
tidak membicarakan tentang poligami lagi.
.
Tapi rupanya
saya masih gemas dan tidak tahan. Akhirnya “mengadulah” saya pada seorang
sahabat lain. Sebut saja namanya Belia, atau akrab disapa Lia. Saya ceritakan
padanya, bahwa saya bertemu dengan istri yang mau dipoligami.
.
“Lah kamu
kan sekarang temenannya sama yang kerudungnya lebar, kaya gitu kayanya wes
biasa deh.” Begitu komentarnya.
“Makanya
jangan lama-lama di situ, nanti ada suami orang naksir kamu.” Cerocosnya lagi.
.
“Eh,
maksudnya kamu doain aku jadi istri kedua gitu?”
.
“Ya
enggaklah! Bla bla bla..” komentar selanjutnya dari Lia ternyata tak semanis
gula, apalagi semanis madu. Seperti kebanyakan wanita, dia adalah salah satu
yang tidak mau dipoligami. Tapi membuat saya jadi ingin menggodanya.
.
“Etapi
kalo istrinya baik dan ikhlas kaya temenku barusan, boleh aja kali ya jadi
istri kedua.” Kataku sambil cekikikan yang dibalas dengan ceramah lebih panjang
dari Lia. Akhirnya itupun menjadi pembicaraan terakhir kami tentang poligami.
.
Sekitar 3
(tiga) tahun pun berlalu, saya dan Lia menjalani hidup kami masing-masing. Alhamdulillah,
saya bertemu dengan momen ‘hijrah’ lebih dulu. Kegagalan pernikahan pertama
membuat saya benar-benar menikmati masa sendiri dengan baik. Rencana-rencana
tersusun rapi : selama 4 (empat) tahun saya akan mengulang kuliah, sampai itu
selesai saya tidak ingin memikirkan tentang rumah tangga baru; sampai anak saya
selesai SD (Sekolah Dasar) paling tidak saya akan tetap di Jember, tapi bila
dia telah masanya SMP, saya ingin dia ke boarding school di luar kota dan saya
akan berusaha untuk mengikutinya.
.
Rencana yang
terlihat sempurna bukan?
.
Rencana saya
berubah karena sebelum lulus kuliah pun saya telah mengirimkan sebuah undangan
pada Lia. Undangan pernikahan.
.
“Eh
tunggu, undanganmu aneh deh! Kok ada nama cewek lain. Itu siapa?” tanya Lia waktu itu.
.
“Istri
pertama calon suamiku.” Jawabku santai.
.
Kalau pada
waktu itu kami bertatapan muka, mungkin matanya akan melotot, untung komunikasi
kami hanya lewat chatting. Kami memang tinggal 1 (satu) kota, tapi dia nun jauh
di pelosok sana, sehingga kami jarang bertemu lagi.
.
Percakapan
kami tiga tahun lalu yang telah terlupakan tiba-tiba menyeruak kembali. Tapi kali
ini tak ada komentar pedas lagi dari Lia. Dia bilang, saya telah berubah, jadi
yang terjadi pastilah yang terbaik. (Aamiin)
.
“Boleh jadi kamu membenci
sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai
sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216).
.
.
Jember,
11 Juli 18
Helmiyatul
Hidayati
0 komentar:
Selamat datang! Berikan komentar yang nyaman dan semoga harimu menyenangkan :)